cerita pendek tentang Shinobi dengan nuansa sejarah - RYUZAKI

cerita pendek tentang Shinobi dengan nuansa sejarah

Malam itu sunyi. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang terdengar di hutan Iga. Di balik gelapnya pepohonan, seorang shinobi muda bernama Hayate berjongkok, napasnya ditahan. Di pinggangnya, seutas kusarigama berkilau samar terkena cahaya bulan.

Hayate baru berusia 17 tahun, tapi tangannya tidak pernah bergetar saat memegang senjata. Sejak kecil, ia dilatih untuk bergerak tanpa suara, membaca arah angin, dan mengenali langkah kaki lawan hanya dari getaran tanah. Malam ini, ia mendapat misi pertama: menyusup ke benteng Kōga dan membawa kembali gulungan rahasia milik klan mereka.

“Jangan terlihat. Jangan terdengar. Jangan pernah gagal,” begitu pesan gurunya sebelum ia berangkat.

Perjalanannya menuju benteng bukan hal mudah. Penjaga Kōga terkenal tajam, bahkan napas yang terlalu berat bisa mengundang kematian. Hayate bergerak menyatu dengan bayangan, merunduk, merayap, dan menahan diri setiap kali cahaya obor mendekat.

shinobi

Saat sampai di ruang penyimpanan gulungan, ia hampir tak percaya melihat sosok lain di sana — seorang gadis dengan penutup wajah biru. Matanya tajam, seperti mata elang. “Kau dari Iga, ya?” bisiknya, suaranya datar namun menusuk.

Hayate membeku. Gadis itu bukan musuh biasa; dari cara ia berdiri, jelas dia seorang kunoichi Kōga — shinobi wanita yang terkenal dengan taktik liciknya. Namun, alih-alih menyerang, gadis itu tersenyum samar.

“Aku tidak suka peperangan,” katanya pelan. “Ambil gulungan itu… tapi katakan pada klanmu, malam ini Kōga tidak kalah. Kita hanya membiarkan.”

Hayate mengangguk. Ia tahu ini jebakan atau mungkin peringatan, tapi tak ada waktu untuk berpikir panjang. Gulungan itu berhasil ia bawa pulang, dan seluruh desa Iga merayakan keberhasilannya.

Namun, malam-malam berikutnya, Hayate tidak bisa tidur. Kata-kata gadis itu terngiang di kepalanya. Ia mulai sadar, menjadi shinobi bukan hanya soal menguasai teknik atau memenangkan misi. Ada kehormatan, ada pilihan, dan terkadang… ada damai yang lebih penting daripada kemenangan.

Bertahun-tahun kemudian, orang-orang mengenal Hayate sebagai shinobi yang berbeda. Ia bukan hanya bayangan di malam hari, tapi juga jembatan perdamaian antara dua klan yang dulu saling membunuh. Dan di balik semua itu, selalu ada ingatan tentang sepasang mata tajam dan senyum samar di malam gelap hutan Kōga.

Era Sengoku Jidai

Bab 1: Bayangan di Malam Iga

Malam di Iga terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut turun pelan, menutup jalan setapak yang berliku di antara hutan pinus. Dari balik gelapnya pepohonan, Hayate bergerak cepat namun senyap. Di punggungnya tergantung kusarigama, di pinggangnya terselip kantong berisi bubuk asap yang diracik khusus oleh tetua desa.

Usianya baru tujuh belas tahun, tapi hidupnya sudah dipenuhi latihan dan misi. Sejak kecil, ia diajari cara membaca arah angin, mengenali langkah lawan hanya dari suara tanah yang berderak, dan bagaimana berbaur dengan bayangan malam.

“Jangan terlihat. Jangan terdengar. Jangan pernah gagal.”
Itu pesan Sensei Kaede, gurunya, saat menyerahkan gulungan kecil berisi perintah misi malam ini.

Misi Hayate sederhana, setidaknya di atas kertas: menyusup ke benteng Kōga dan mengambil gulungan rahasia berisi peta jalur perdagangan. Gulungan itu bisa mengubah arah perang antara klan Iga dan Kōga.



Bab 2: Menyusup ke Kōga

Perjalanan menuju perbatasan memakan waktu hampir dua jam. Hujan gerimis membuat tanah licin, tapi Hayate terbiasa. Ia mengikat sandal waraji-nya lebih erat, lalu merunduk saat mendengar derap kuda dari kejauhan.

Di kejauhan, api obor dari benteng Kōga berkelip seperti mata binatang lapar. Ia menunggu hingga pergantian penjaga, lalu meluncur ke arah dinding barat, sisi yang paling jarang dijaga. Nafasnya ditahan. Langkahnya ringan, seolah-olah ia menyatu dengan malam.

Begitu masuk ke gudang penyimpanan, jantung Hayate hampir meloncat. Di sana, di balik rak kayu, berdiri seorang gadis berpenutup wajah biru, matanya tajam seperti elang.

“Kau dari Iga, ya?” suaranya datar tapi tenang, tanpa nada ancaman.

Hayate refleks meraba gagang kusarigama. “Aku tak ingin masalah. Gulungan itu saja yang kubutuhkan.”

Gadis itu tidak bergerak. Angin berdesir pelan, membawa aroma hujan dan tanah basah. “Ambil. Tapi katakan pada klanmu… malam ini bukan kekalahan Kōga. Kami hanya membiarkan.”

Ada jeda hening sebelum Hayate bergerak, mengambil gulungan itu tanpa suara. Namun, kata-kata gadis itu menusuk lebih dalam daripada tatapannya.


Bab 3: Pulang, Tapi Gelisah

Iga menyambut Hayate dengan perayaan kecil. Para tetua memuji keberhasilannya, dan nama Hayate mulai disebut-sebut sebagai pewaris generasi shinobi berikutnya. Namun, malam-malam setelah itu menjadi siksaan. Kata-kata gadis Kōga itu terus mengganggu pikirannya.

Ia mulai mempertanyakan segalanya — perang, dendam, bahkan loyalitasnya sendiri. Apakah menjadi shinobi hanya soal perintah dan kemenangan?

Di suatu malam, Sensei Kaede menemukan Hayate berlatih sendirian. “Kau mulai ragu,” kata sang guru tanpa menoleh. “Tapi ingat, keraguan bukan kelemahan… kecuali jika kau membiarkannya menguasai pikiranmu.”

Hayate hanya mengangguk, tapi dalam hatinya ia tahu, jalan hidupnya tidak akan sama lagi.

shinobi

Bab 4: Misi Kedua

Dua bulan berlalu sejak misi pertama itu. Angin musim panas mulai mengeringkan dedaunan, dan ketegangan antara klan Iga dan Kōga semakin memuncak.

Pagi itu, Hayate dipanggil ke ruang utama. Para tetua berkumpul, wajah mereka serius. Di tengah ruangan tergambar peta jalur pegunungan yang menghubungkan dua desa. Sensei Kaede berdiri di samping peta, tangannya terlipat.

“Hayate,” ucap Kaede, suaranya tenang tapi tegas. “Kau akan memimpin misi kali ini. Kita mendapat kabar bahwa Kōga sedang mengatur aliansi dengan klan Takeda. Jika kesepakatan itu terjadi, habislah jalur perdagangan kita. Tugasmu sederhana — gagalkan pertemuan itu.”

Hayate terdiam. Kata “sederhana” itu terdengar hampa. Ia tahu misi ini bukan lagi sekadar penyusupan. Ini bisa berarti darah.


Bab 5: Di Bawah Bayangan Bulan

Malam itu, ia bergerak bersama dua shinobi senior, Genji dan Sora. Mereka menyusuri jalur pegunungan, mengandalkan cahaya bulan untuk melihat. Hayate memimpin, tapi pikirannya terus melayang ke gadis Kōga yang ditemuinya dua bulan lalu.

Saat mereka tiba di titik pengamatan, suara langkah kaki terdengar. Dari balik pepohonan, terlihat rombongan kecil Kōga yang membawa gulungan dan bendera kecil bergambar simbol klan Takeda.

“Target terlihat,” bisik Genji. Tangannya sudah siap melempar kunai.

Namun sebelum Genji sempat bergerak, Hayate mengangkat tangan, menghentikannya. Pandangannya menangkap sosok yang tak asing. Gadis itu. Mata yang sama, penutup wajah biru yang sama, kini berjalan paling depan sambil menggenggam gulungan di tangannya.

Hayate merasakan dadanya mengencang. Jika ia memberi aba-aba, panah akan dilepaskan, dan gadis itu akan mati seketika.

“Hayate,” desis Sora, “perintahnya jelas. Tidak ada yang boleh keluar hidup-hidup.”

Tapi Hayate membeku. Di kepalanya, suara gadis itu bergema: Kami hanya membiarkan.


Bab 6: Pilihan

Pergerakan kecil di hutan membuat gadis itu waspada. Ia menoleh cepat, matanya bertemu langsung dengan mata Hayate. Untuk sejenak, dunia terasa sunyi.

Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Gadis itu menurunkan gulungan, seolah mengirim pesan diam: Pergilah.

Hayate menarik napas panjang. “Mundur,” bisiknya pelan pada Genji dan Sora.

“Apa?!” Genji hampir berteriak. “Kau gila? Ini kesempatan emas—”

“Percayalah padaku,” potong Hayate, matanya tetap tak lepas dari gadis Kōga itu. “Mereka tahu kita di sini. Kalau kita menyerang, mereka siap membalas. Ini bukan waktunya.”

Dengan enggan, kedua shinobi lain mundur. Rombongan Kōga pun menghilang di balik kabut pegunungan, meninggalkan Hayate dengan rasa campur aduk antara lega dan takut.


Bab 7: Hantu Keraguan

Sepulangnya ke desa, Hayate langsung dipanggil Kaede. Suasana ruang utama terasa mencekam.

“Kau membiarkan mereka lolos,” kata Kaede datar.

Hayate menatap lantai, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Serangan saat itu terlalu berisiko. Kita bisa kehilangan semuanya jika tertangkap.”

“Bukan alasan,” suara Kaede meninggi. “Shinobi tidak boleh terikat perasaan. Kau lupa siapa dirimu, Hayate. Ini bukan tentang kehormatanmu, ini tentang Iga.”

Namun jauh di dalam hatinya, Hayate tahu, perasaan itu bukan sekadar kelemahan. Ia merasakan ada sesuatu di balik perang ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan jalur perdagangan.

Dan di malam yang sama, saat duduk di tepi sungai kecil, ia tahu satu hal: cepat atau lambat, ia akan berhadapan lagi dengan gadis Kōga itu. Entah sebagai musuh… atau sekutu.

shinobi

Bab 8: Bara di Balik Kabut

Kabut tebal menggantung di pegunungan malam itu, seolah-olah alam pun tahu perang besar akan meletus. Klan Takeda mengirim pasukan kecil untuk berunding dengan Kōga, sementara desas-desus mata-mata Iga yang tertangkap mulai menyebar.

Hayate duduk di tepi halaman dojo, mengasah bilah kusarigama-nya. Suara gesekan logam dengan batu mengisi keheningan malam. Sensei Kaede berdiri di belakangnya, menatap muridnya yang kini terjebak di antara dua dunia.

“Besok malam, kita serang markas Kōga,” kata Kaede, dingin tanpa emosi. “Kau memimpin tim penyusup. Tidak ada negosiasi. Tidak ada belas kasihan.”

Hayate tidak menjawab. Di matanya, tergambar wajah gadis Kōga itu—mata tajam, suara dingin, dan kata-kata yang dulu menusuknya. Ia ingin berkata, Perang ini tidak perlu, tapi lidahnya kelu. Dalam dunia shinobi, perasaan seperti itu hanya akan berakhir dengan kematian.


Bab 9: Penyusupan di Bawah Bulan Merah

Langkah-langkah ringan menyusuri hutan, napas tertahan, bayangan berkelebat di antara batang pohon. Hayate memimpin tim beranggotakan enam orang. Target mereka jelas: menghancurkan gudang persenjataan Kōga di sisi barat desa.

Ketika sampai di perbatasan, Hayate memberi aba-aba. Sora bergerak ke depan, meletakkan ranjau bubuk mesiu, sementara Genji memanjat ke atap untuk mengawasi. Semua berjalan sesuai rencana.

Hingga suara peluit tajam memecah keheningan.

“PERANGKAP!” teriak Genji dari atap. Dalam sekejap, panah berdesing dari segala arah. Tanah meledak di sekitar mereka, menimbulkan asap tebal.

Hayate berputar cepat, mengayunkan kusarigama untuk menangkis serangan, tapi matanya menangkap sosok yang dikenalnya: gadis Kōga itu, kini tanpa penutup wajah, berdiri di tengah kobaran api.

“Pergilah, Hayate,” suaranya tajam. “Ini bukan perangmu.”


Bab 10: Bayangan yang Berkhianat

Genji yang marah melihat kesempatan emas, melompat ke depan dengan pisau di tangannya. “Jangan dengarkan dia, Hayate! Ini saatnya!”

Tapi Hayate bergerak lebih cepat, menghalangi jalur serangan Genji dengan rantai kusarigama. Benturan logam beradu, memercikkan api kecil.

“Apa yang kau lakukan?!” Genji berteriak marah. “Kau mengkhianati Iga!”

Hayate tidak menjawab. Ia tahu, satu gerakan salah dan ia akan dianggap pengkhianat oleh klannya sendiri. Namun, nalurinya berkata bahwa perang ini hanyalah permainan kekuasaan para daimyo—dan mereka semua hanyalah bidak di papan catur.

Di tengah kekacauan, gadis itu menarik Hayate keluar dari area serangan. Nafas mereka memburu saat mereka bersembunyi di balik bebatuan besar.

“Aku tidak bisa membiarkanmu mati di sini,” ucap gadis itu, matanya menatap lurus ke arah Hayate. “Namaku… Aya.”


Bab 11: Api dan Dendam

Pertempuran malam itu berakhir dengan kekalahan besar bagi Iga. Empat shinobi tewas, termasuk Sora. Desa Iga berkabung, dan kemarahan menyala di mata para tetua.

Hayate dipanggil ke ruang utama. Kaede berdiri di tengah, sorot matanya dingin seperti baja.

“Kau mengabaikan perintah,” kata Kaede datar. “Darah saudara-saudaramu tumpah karena kelemahanmu.”

Hayate mengepalkan tangan, menahan amarah dan rasa bersalah. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa Kōga juga menderita, bahwa perang ini hanyalah lingkaran dendam yang tidak ada ujungnya. Tapi ia tahu, kata-kata tak akan mengubah apa pun.

Di malam yang sama, duduk sendiri di tepi sungai, Hayate menatap bayangan dirinya di permukaan air. Aya benar — perang ini bukan hanya milik mereka. Dan jika ia tidak melakukan sesuatu, semuanya akan berakhir dalam kehancuran.

0 Response to "cerita pendek tentang Shinobi dengan nuansa sejarah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close